0 comments Friday, May 4, 2007


Selamat datang di pulau Bali. Selamat datang di pulau Dewata, The Island of a Thousand Temples dan sebutan-sebutan lain yang membuat orang penasaran untuk datang ke Bali. Brosur-brosur tentang Bali tersebar ke seluruh dunia, baik oleh biro perjalanan, maskapai penerbangan, hotel-hotel dan semua pihak yang berkepentingan dengan kedatangan wisatawan ke Bali. Semua brosur menyatakan keindahan panorama Bali, budaya yang luhur dan masyarakatnya yang ramah kepada pendatang. Alangkah indahnya pulau ini. Bahkan ada orang luar yang menyatakan bahwa Bali adalah surga terakhir yang tersisa di Bali setelah Taman Eden. Ia sendiri ingin mati dan dikubur di Bali. Waduh!! Kalau ada seribu orang yang berpikiran seperti dia, maka Bali harus menyediakan tanah-tanah kuburan untuk mengubur mereka.

Lalu apa yang terjadi dalam masyarakat Bali? Apakah hal itu menyebabkan orang Bali berubah? Nah, inilah masalahnya. Brosur-brosur tentang keindahan Bali itu ternyata juga mengendap dalam benak masyarakat Bali. Budaya yang luhur, masyarakat yang ramah dan penuh senyum (umumnya kami orang Bali selalu tersenyum jika ditanya oleh orang asing, justru untuk menutupi ketidakbisaan kami berbahasa mereka…), dan banyak hal-hal indah yang ada di brosur itu membuat masyarakat terlena. Semua sendi kehidupan orang Bali yang dulunya merupakan bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta (Tuhan) berpindah rel menuju pengabdian kepada gemerincing dollar di saku para wisatawan. Semua hal harus sesuai dan mencirikan keluhuran budaya yang ada di brosur. Ambiguitas antara brosur dan budaya yang sebenarnya terjadi. Menyedihkan tapi kadang lucu.

Bisa dikatakan lucu karena kesenian-kesenian yang dulunya dipentaskan di pura sebagai pelengkap upacara keagamaan bisa ditonton di halaman hotel. Menyedihkan karena patung Budha dipakai hiasan di pusat-pusat spa. Salahkah? Tentunya salah-benar tergantung konteks. Brosur pariwisata telah memuat hal-hal ini maka sudah seharusnya akomodasinya juga sesuai dengan brosur. Jika tidak, maka wisatawan harus menunggu sampai ada upacara keagamaan hanya untuk nonton tari Pendet. Maka dibuatlah pertunjukan itu tanpa perlu ada atau tidak upacara agama. Semuanya dilakukan untuk memanjakan wisatawan yang datang ke Bali. Semuanya dikemas dalam paket pariwisata, semuanya harus ada, harus lengkap.

Ironisnya lagi hotel-hotel dibangun tanpa mempedulikan lagi keharmonisannya dengan lingkungan sekitar. Bahkan tempat-tempat yang dulunya dianggap suci oleh pendahulu orang Bali sekarang harus kalah dengan dunia baru yang bernama pariwisata. Pura-pura (maaf, tolong dibaca pure-pure) menjadi obyek dan di sekitarnya dibangun hotel-hotel agar para tamu mudah mencapai pura yang artinya lebih mudah menikmati budaya yang luhur itu. Hanya perlu membuka jendela hotel, langsung bisa dilihat.

Untuk memenuhi kebutuhan energi hotel-hotel dan sarana lainnya, gunung yang sucipun harus dirabas, dibor, dipasangi pipa guna mengeluarkan panas bumi untuk pembangkit listrik. Orang-orang yang berkepentingan menakut-nakuti masyarakat jika tidak dibangun pembangkit baru, beberapa tahun lagi Bali akan gelap. Maka harus dibangun guna memenuhi kebutuhan hotel-hotel dan sarana pariwisata yang rakus energi, demi untuk menunjukkan keluhuran budaya.

Maka, sekali lagi kami ucapkan selamat datang di Bali, Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, pulau seribu kepura-puraan. Nikmatilah budaya yang luhur ini yang kami persembahkan untuk anda melebihi dari apa yang bisa kami persembahkan untuk dewa-dewa kami.

16 comments

Calonarang adalah seorang janda tua yang hidup di sebuah desa yang merupakan bagian dari wilayah kerajaan Daha di Jawa Timur. Dirah, nama desa itu. Sang janda yang mendapat julukan "Rangda ing Dirah" atau janda dari negeri Dirah memiliki seorang putri yang bernama Diah Ratna Manggali. Saat itu kerajaan Daha dipimpin oleh raja Airlangga yang sangat terkenal. Saking terkenalnya saat ini universitas di Jawa Timur diberi nama Universitas Airlangga. Beliau disebut-sebut sebagai titisan Dewa Wisnu. Dalam pandangan orang bijaksana, sebutan titisan Dewa Wisnu merupakan predikat yang diberikan kepada raja yang dalam pemerintahannya mampu mensejahterakan rakyat dan melindungi negeri dari bahaya luar. Namun bagi masyarakat umum saat itu, itu bukanlah predikat, namun sebuah dogma. Beliau memang titisan Dewa Wisnu.

Dikisahkan bahwa tak ada pemuda dari seluruh kerajaan yang mau menjadikan Manggali istri karena kabar yang santer terdengar Calonarang adalah penganut ilmu hitam. Sesungguhnya Manggali adalah gadis desa yang cantik, berbudi baik dan ramah kepada semua orang. Namun gadis malang ini menjadi korban dari predikat yang disandang oleh sang ibu. Karena tidak ada yang mau melamar anak gadisnya yang sudah mulai memasuki usia nikah, murkalah sang janda. Dengan kekuatan yang dimilikinya dan dibantu oleh beberapa muridnya, Calonarang menyebarkan kekuatan teluh yang didapat dari Bathari Bhagawati. Satu persatu warga desa tewas karena wabah penyakit.

Kabar tentang kejahatan Calonarang akhirnya sampai di telinga raja. Berbagai upaya dikerahkan oleh raja untuk mengalahkan sang janda dari Dirah, termasuk menitahkan patih kerajaan, namun ternyata sia-sia. Akhirnya brahmana kerajaan Empu Bharadah dimintai bantuan. Sang Brahmana mengutus muridnya Empu Bahula untuk menyelidiki kekuatan Calonarang. Kedatangan Empu Bahula ke desa Dirah disambut penuh suka cita oleh Calonarang. Tentunya juga Diah Ratna Manggali. Singkat cerita akhirnya mereka menikah. Keduanya hidup bahagia sebagai suami-istri, namun tugas kerajaan tetap harus dijalankan. Beberapa bulan di desa Dirah membuat Empu Bahula tahu sumber kekuatan sang mertua.

Dengan diketahuinya rahasia kekuatan Calonarang, Empu Bharadah akhirnya dapat mengalahkan Calonarang dan kerajaan Daha tentram kembali. Kisah ini diakhiri dengan kematian Calonarang yang penuh kebahagiaan karena Diah Ratna Manggali telah menemukan tambatan hatinya.

Sampai sekarang kisah ini tetap menjadi kisah yang menarik di Bali dan dijadikan tema utama dari berbagai kesenian seperti drama tradisional dan wayang kulit. Setiap pementasan cerita Calonarang selalu dihiasi dengan unsur magis yang menyebabkan pementasan menjadi menyeramkan. Semua pementasan yang berhubungan dengan Calonarang selalu menempatkan Calonarang sebagai tokoh antagonis yang menjadi simbol kejahatan. Kata "Rangda" di Bali mengalami pergeseran makna dimana "Rangda" saat ini digunakan sebagai istilah bagi sosok mengerikan dengan rambut panjang berjuntai, mata melotot, taring panjang, ditambah dengan lidah panjang yang selalu menjulur. Dalam tari Barong, rangda mewakili sifat jahat manusia dan barong mewakili sifat baik manusia. Padahal rangda awalnya berarti janda atau wanita yang telah ditinggal suaminya.

Sekarang ini banyak analisis yang dilontarkan sehubungan dengan cerita ini. Salah satunya adalah, dalam teks yang ditemukan dalam bahasa Jawa Kuno tidak diceritakan kondisi politik kerajaan Daha saat itu. Predikat titisan Wisnu yang disandang raja menjadikan kekuasaan raja absolut, sehingga pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan kebijakan kerajaan akan dianggap sebagai pikiran jahat yang harus ditumpas. Desa Dirah sendiri adalah desa kecil yang masih dalam kekuasaan Daha, maka pemikiran kritis Calonarang bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan yang absolut itu. Apalagi Calonarang hanyalah seorang janda sehingga issu-issu gender lebih mudah dimasukkan. Seperti misalnya, wanita lebih gampang mempelajari ilmu hitam dibandingkan laki-laki.

Dalam teks disebutkan Calonarang dengan murid-muridnya mendapat kekuatan dari Bhatari Bagawati, yang dalam keyakinan tradisional merupakan sakti Dewa Siwa. Dari sini ada hal yang mencurigakan, jangan-jangan pemikiran Calonarang adalah bagian dari filsafat Tantra yang merupakan hal baru di Jawa pada saat itu. Seperti yang kita ketahui di dalam masyarakat kita, pemikiran-pemikiran baru selalu mendapat menentangan dari budaya konservatif yang telah dianut umum. Jika penentangan ini dilakukan oleh negara atau konstitusi maka jadilah pemikir-pemikir baru itu sebagai sosok jahat. Calonarang sendiri akhirnya dibuat jahat dengan isu-isu ilmu hitam dan kematian banyak warga desa di Daha. Tidak ada analisis secara medis yang dilakukan saat itu terhadap kematian warga desa. Maklum Universitas Airlangga belum dibangun dan belum mewisuda dokter-dokternya. Maka disimpulkanlah itu adalah berbuatan Calonarang. Siapapun yang menentang dewa maka dia adalah kejahatan itu sendiri. Kesimpulan yang gampang bukan?
Kaum feminis Bali melihat cerita ini lebih pada pengorbanan seorang ibu demi kebahagian anaknya. Pandangan lain menyebutkan bahwa cerita ini mewakili dominasi laki-laki atas perempuan. Konflik-konflik yang terjadi antar kedua gender ini haruslah dimenangkan oleh laki-laki. Maunya sih!!
-----------------------------------------------------
Salam Hormat kepada Ibu, Nenek, semua leluhur perempuanku termasuk, Ni Diah Patri Keniten, Diah Ratna Manggali dan tentunya Calonarang.





0 comments Wednesday, May 2, 2007


Selamat atas terbitnya edisi perdana Bulletin JagadHita. Bulletin ini adalah salah satu sarana kampanye Walhi Eksekutif Daerah Bali. Yah, masih banyak kekurangan, terutama dalam hal hasil cetaknya, namun terbitan pertama ini bisa dikatakan sebagai hasil jerih payah kita bersama. Aik yang mertuanya meninggal ketika redaksi lagi sibuk, Agung Wardana yang akhirnya meninggalkan KTP di tukang pres ban dalam karena tidak ada uang sepeserpun di dompet ketika kita melakukan investigasi di desa Gadungan dan Meliling, Tabanan, dan tentunya masih ingat ketika kita pura-pura bertamu padahal tujuannya hanya untuk mendapat secangkir kopi karena itupun tidak terbeli. Menariknya juga, Bang Ruddy pergi ke Malaysia, justru beberapa hari sebelum melihat hasil kerjanya.


Di manapun kalian berada, tetap semangat, teman!!! Tunduk tertindas atau bangkit bergerak, karena diam adalah pengkhianatan.

0 comments

Pembangun di era otonomi daerah atau desentralisasi merupakan peluang yang sangat baik dalam mewujudkan hak-hak masyarakat pengelolaan sumber daya alam mereka yang dapat mengurangi potensi kita untuk terjerembab dalam bencana berkelanjutan. Pertanyaannya, apakah pendelegasian kewenangan pengelolaan tersebut telah termaktub dalam regulasi otonomi daerah? Selanjutnya, apakah paradigma pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dapat menjamin keadilan dan kelestarian?

Pertanyaan ini menjadi relevan mengingat masih ada regulasi dalam pengelolaan sumber daya alam yang yang tumpang tindih, misalnya antara UU Otonomi Daerah dengan regulasi sumber daya alam yang bersifat sektoral. Selain itu yang terjadi saat ini justru otonomi daerah menambah deretan eksploitasi. Semakin menguatnya kekuasaan yang merangsek ke tingkat lokal berkombinasi dengan pemerintah yang lemah dan institusi sipil yang juga lemah telah membuka jalan untuk penyalahgunaan kekuasaan politik dan kekuasaan administratif, bangkitnya sentimen etnis dan keagamaan serta perusakan lingkungan alam demi menarik keuntungan yang cepat dan sebanyak-banyaknya. Secara real dapat kita lihat pada laju kerusakan lingkungan dan sumber daya alam pada era otonomi daerah meningkat secara signifikan. Jika di masa Orde Baru yang sentralistik, segala kebijakan yang berkaitan dengan eksploitasi berasal dari pemerintah pusat yang mana keuntungan dari eksploitasi tersebut juga terkonsentrasi pada elite-elite pusat saja. Sedangkan lewat otonomi daerah, penguasa daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pendapatan dengan mengobral dan menguras habis sumber daya alam mereka juga untuk kepentingan penguasa tersebut ataupun kelompoknya.

Mengubah Paradigma
Pembangunan yang mengandalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa diimbangi dengan kehati-hatian dalam pengelolaannya, yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran sumber daya alam dari waktu ke waktu semakin tinggi. Kondisi ini menjadi semakin parah dengan adanya ketidakadilan basis legitimasi hukum yang memberikan hak penguasaan yang lebih besar kepada pengusaha dibandingkan hak yang ada pada masyarakat yang meskipun jumlahnya lebih besar menikmati sedikit ruang dalam memanfaatkan sumber daya alam (Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri; 2005).
Pengelolaan sumber daya alam yang bersifat sektoral sangat berpotensi terjadinya tumpang tindih kewenangan guna mencapai keuntungan komersial tanpa memperhitungkan daya dukung ekologisnya. Pendekatan seperti ini, jika kita lihat secara kritis merupakan pesanan untuk mendukung basis ekonomi pertumbuhan dengan birokrat-intelektual-komprador sebagai agennya.
Ketika kita berbicara tentang bencana ekologis atau bencana yang terjadi sebagai akumulasi dari kerusakan lingkungan akibat eksploitasi, tidak bisa dilepaskan dari sistem pengelolaan sumber daya alam yang timpang ini. Ke depan, diperlukan sebuah antitesis dari pendekatan ini yang lebih berpihak pada kelestarian dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Tentu saja pendekatan ini tidak tunduk pada basis ekonomi pertumbuhan yang kapitalistik.
Paradigma seperti apa yang dapat menjadi antitesis? Dari sudut pandang pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, bio-region merupakan pilihan yang cukup tepat karena dengan adanya otonomi daerah pengelolaan sumber daya alam terkotak-kotak dalam wilayah administrasi yang kecil-kecil yang seringkali lebih sempit dari sistem ekosistem serta menimbulkan konflik antar daerah. Daya dukung sumber daya alam per daerah administratif tidak mampu mendukung pembangunan dan kehidupan jangka panjang sehingga diperlukan kerja sama antara daerah untuk mencapai kesejateraan bersama dan berkelanjutan sistem penyangga kehidupan.
Pendekatan bio-region memiliki beberapa karakteristik. Pertama, merupakan teritori tanah dan air yang lingkupnya tidak ditentukan oleh batasan politik/administratif, tetapi oleh batasan geografis komunitas manusia dan sistem ekologi. Kedua, mata pencarian pokok, klaim, serta kepentingan komunitas lokal berikut kriteria untuk pembangunan dan pelestarian regional dijadikan pusat perhatian dengan tidak mengabaikan kepentingan ekonomi dari luar. Ketiga, merupakan wilayah yang ''cukup luas'' untuk memelihara integritas komunitas, habitat dan ekosistem biologis, menunjang proses ekologis penting seperti zat hara, arus limbah, migrasi dan aliran air. Keempat, merupakan wilayah yang ''cukup kecil'' sehingga oleh masyarakat dianggap sebagai kampung halamannya, mempunyai identitas kultural yang unik serta mempunyai hak untuk menentukan pembangunannya sendiri (Walhi, 2002)
Pendekatan bio-region ini mengaitkan ekosistem, geografis masyarakat dan budaya untuk mendorong ikatan sosial yang diharapkan dapat meningkatkan ikatan eko-budaya yang mengakar pada suatu wilayah melebihi ikatan etnis dan birokrasi yang cenderung bersifat membatasai. Batas bio-region tidak dapat ditentukan dari ''atas'' karena bio-region adalah konsep ekologi dan budaya yang sudah ada beserta masyarakat yang tinggal di dalam tersebut. Dengan kata lain bio-region menyatukan ekosistem alam dengan masyarakat tanpa dibatasi oleh batas adminstrasi dan etnis, memerlukan riset dan ilmu pengetahuan (termasuk pengetahuan lokal), merupakan pendekatan kooperatif dan adaptif, serta memerlukan keterpaduan institusi (pemerintah pusat, pemerintah daerah dan komunitas lokal).
Untuk itu diperlukan seorang pemimpin politik yang mempunyai keberanian untuk mempraksiskan pendekatan bio-region ini yang dimulai dari daerah. Karena bagaimana pun permasalahan lingkungan hidup dan konflik pengelolaan sumber daya alam bukan permasahalan teknis belaka melainkan merupakan ekses dari ketimpangan struktur kelas, gender dan ras dalam penguasaan sumber daya alam yang hanya dapat diselesaikan melalui pendekatan politik yang berpihak pada keadilan dan kelestarian.
Tulisan ini dibuat oleh Agung Wardana dan pernah dimuat di harian Bali Post, 27 Pebruari 2007. Dia adalah adik sepupu sekaligus sahabatku. Seorang pecinta lingkungan dan aktif di Walhi ed Bali. Sorry Dek, tulisannya termuat di sini. Tau kan, gak semua orang baca Bali Post?

4 comments

Seorang pemuda bercerita kepada teman-temannya bahwa malam sebelumnya dia melihat leak dan ia berkesimpulan bahwa leak itu adalah jelmaan Dadong Gobyah. Tanpa bisa membantah cerita itu, teman-temannya akhirnya juga menyimpulkan hal yang sama. Cerita itu kemudian beredar ke seluruh desa sehingga orang-orang desa jadi membenci perempuan tua yang dipanggil Dadong Gobyah itu.
Dadong Gobyah adalah seorang wanita tua yang hidup sendiri di rumah gubuknya. Sanak keluarganya sudah meninggalkannya puluhan tahun yang lalu untuk bertransmigrasi ke Lampung. Suaminya, Pekak Gobyah telah meninggal tertembus puluru NIKA jaman revolusi dulu. Jadilah Dadong Gobyah seorang janda tua yang jauh dari kata hidup layak. Pernah berhembus kabar akan ada bantuan dari pemerintah bagi wanita tua ini, namun hembusan kabar itu terlalu kencang sehingga Dadong Gobyah hanya dilewati saja. Bantuan Langsung Tunai yang digembor-gemborkan Pak SBY tidak pernah dinikmatinya. Ia hanya mengandalkan tenaga tuanya untuk mengumpulkan saang dan menjualnya ke pasar. Itupun tidak akan laku semua dalam sehari. Beberapa keluarga telah menggunakan kompor gas untuk memasak sehingga tidak memerlukan lagi saang si Dadong. Hasil penjualan saang itu cukup untuk membeli beras dan minyak goreng. Lauknya? Belauk dan don canging juga enak.
Sejak kejadian itu hidup Dadong Gobyak semakin berat. Dia menjadi kesepekang seluruh warga desa. Tak ada yang mau bicara dengannya. Anak-anak pun takut melihat wajah wanita tua itu. Tak ada lagi tegalan yang bisa dicari saang-nya, kalaupun ada, tak ada yang mau beli saang Dadong Gobyah. Takut kalau-kalau salah ucap malam harinya Dadong Gobyah akan ngeleak dan menyakiti orang yang tidak dia suka. Padahal perempuan tua itu tidak pernah mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Dadong Gobyak akhirnya sakit-sakitan dan tak ada uang untuk mencari bantuan pengobatan. Bisa ditebak. Dadong Gobyah akhirnya meninggal dalam kesendiriannya. Warga desa menguburnya di setra desa dan gubuk tepat tinggal wanita tua itu diambil sebagai aset desa.
Cerita di atas hanyalah fiksi, namun aib seperti di atas tidak bisa dipungkiri pernah terjadi di Bali. Cerita-cerita leak yang menggangu masyarakat desa masih sering terdengar nyaring diceritakan senyaring tawa leak yang memecah keheningan malam (kata orang). Leak sepertinya sangat menakutkan, sama menakutkannya dengan cerita-cerita ilmu hitam di daerah-daerah lain. Tapi tak seorangpun bisa membayangkan bagaimana menakutkannya jika orang dituduh bisa ngeleak. Dikucilkan, dimusuhi dan tidak punya ruang gerak yang bebas lagi. Akhirnya hanya bisa berjalan menunduk dan menutupi muka.
Apa itu Leak sebenarnya? Banyak versi tentang leak bahkan pernah ada seminar tentang Leak dan peserta seminar lebih sepakat bahwa Leak bukanlah sebuah ilmu hitam serta jaun dari sifat jahat yang dituduhkan oleh semua orang. Tapi pandangan masyarakat sudah tidak bisa dirubah. Leak itu jahat. Orang yang bisa ngeleak harus dimusuhi. Terlepas dari semua itu, sampai saat ini tidak ada seorangpun yang pernah membuktikan bahwa ia telah melihat sosok mengerikan yang mereka sebut leak itu. Sayang juga tak seorangpun bisa membuktikan bahwa cerita itu bohong.
Lalu bagaimana? Argumentum ad Ignorantiam. Para ahli menulisnya demikian. Yang dalam pengertian bebasnya adalah sesuatu itu ada karena tidak ada orang yang bias membuktikan bahwa sesuatu itu tidak ada. Hal ini lebih mengarah pada kesesatan dalam penalaran kita sebagai manusia sehingga kesimpulan yang didapat juga menyesatkan. Demikian juga halnya dengan Dadong Gobyah. Coba saja kita lihat hubungan kedua premis di bawah ini :

Premis I : Pemuda desa itu mengatakan bahwa ia malam sebelumnya ia melihat leak
Premis II : Teman-temannya tidak bisa membuktikan bahwa ucapannya itu bohong.
Kesimpulannya : Pemuda itu memang melihat leak.

Premis I : Pemuda lain berpendapat bahwa tidak benar Dadong Gobyah bisa ngeleak.
Premis II : Pemuda ini tidak bisa membuktikan bahwa tidak benar Dadong Gobyah bisa ngeleak
Jadi kesimpulan yang akan ditarik adalah : Dadong Gobyak bisa ngeleak.

Benarkan Dadong Gobyah bisa ngeleak sehingga orang-orang di desa itu memusuhinya? Jawabannya tergantung pada premis yang digunakan untuk mengambil kesimpulan. Maka bisa saja Dadong Gobyah hanyalah korban kesesatan dalam penalaran masyarakat di sekitarnya. Mungkin juga hal yang sama berlaku pula pada leak yang menyeramkan itu. Jika demikian halnya Dadong Gobyah dan leak punya nasib sama yaitu menjadi korban kesesatan penalaran.
Leak : klik link
Leak : menjadi leak
Dadong : sebutan untuk nenek di Bali
Saang : kayu api
Belauk : larva capung yang biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Bali dahulu
Don Canging : Daun pohon berduri yang biasanya tumbuh di pinggir sungai
Kesepekang : sebuah istilah dalam masyarakat adat di Bali, dimana jika orang kesepekang, dia tidak berhak lagi mendapat pelayanan di masyarakat.
Terima kasih untuk I Gede Mahendra yang posting artikel tentang Leak di situs www.iloveblue.com. Tulisan Anda memberi kasanah baru dalam pemahaman leak di Bali. Selain Beliau, Ngurah Artha dan Mangku Teja adalah tokoh-tokoh yang juga berusaha membuka pikiran orang Bali tentang leak.