2 comments Thursday, October 11, 2007

"Perubahan iklim adalah ancaman keamanan terbesar yang ada dihadapan kita"

- Leo Falcam

Ungkapan dari Leo Falcam, Mantan Presiden Micronesia tersebut membuat ancaman perubahan iklim terhadap keberlanjutan kehidupan menjadi sangat jelas. Ia juga mengkhawatirkan sampai berapa lama lagi kehidupan manusia dapat berlanjut dipulau kecil seperti Fiji, Tonga, Samoa (Climate Justice-FOE Australia; 2006).

Sebuah Pelajaran Dari Tuvalu

Tuvalu adalah Negara pulau kecil di kawasan Pasifik. Hanya dengan luas 26 kilometer persegi, berada di 2,5 meter diatas permukaan laut dengan populasi 11.000 lebih, membuat Tuvalu menjadi bangsa yang sangat rentan dari dampak perubahan iklim. Jika dilihat kontribusi negara pulau kecil dikawasan Pasifik yang hanya 0,06 % dari pelepasan gas rumah kaca secara global, menjadi ironi jika meraka harus menjadi korban pertama dari perbuatan yang bukan tanggung jawab mereka. Sampai-sampai mereka harus menjadi Pengungsi Iklim dan berpindah kedaratan yang lain. Tahun 2001, pemerintah Tuvalu, Fiji, Kiribati, Tonga membuat perjanjian imigrasi untuk memindahkan rakyatnya ke New Zealand setelah Pemerintah Australia menolak untuk menerima mereka. Kehilangan identitas sosial-budaya, skill dan kemampuan bahasa Inggris yang minim untuk dapat memperoleh pekerjaan, menjadi permalahan lanjutan yang menunggu di ‘rumah’ baru mereka. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah perubahan iklim tanda takdir kiamat sudah dekat?

Perubahan Iklim Bukan Sebuah Takdir

Perubahan Iklim merupakan dampak yang dihasilkan dari pemanasan suhu golobal yang disebabkan oleh gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini dihasilkan oleh pola konsumsi bahan bakar fosil dan eksloitasi sumber daya alam. Peningkatan suhu bumi akan berpengaruh pada kehidupan manusia dan ekosistem yang ada karena alam dan kehidupan merupakan dua hal yang terintegrasi dan saling mempengaruhi.
Sejatinya, perubahan iklim bukanlah permasalahan teknis belaka, karena ia terjelma akibat kerakusan pola produksi dan konsumsi yang kemudian menjadi permasalahan sosial yang mengglobal. Dampaknya sosialnya, seperti ketidakmampuan bagi rakyat miskin untuk melakukan adaptasi, akses terhadap pelayanan kesehatan, air, dan sumber daya alam akan menambah permasalahan mendasar untuk bertahan hidup. Dibandingkan dengan orang kaya, yang dapat berpindah dari daratan rentan ke daratan yang lebih aman karena mereka punya uang untuk melakukannya. Jika demikian, apakah di masa depan bumi ini hanya akan diisi oleh orang kaya, karena hanya mereka yang mampu bertahan hidup??

Perubahan yang perlahan tapi pasti ini membuat kehidupan manusia seperti kodok yang sedang berenang dalam tungku yang dipanaskan secara perlahan sampai mencapai titik didih dan kodok itupun mati tanpa menyadari apa yang telah terjadi.

Masa Depan Bali??

Bali adalah pulau kecil hanya dengan luas hanya 5,682 km persegi dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi yakni 565 orang per km persegi. Bali di kelilingi wilayah pesisir dengan panjang 430 km yang saat ini dalam kondisi kritis. Padahal ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada wilayah pesisir dengan mata pencaharian sebagai nelayan sejak turun-temurun dan petani rumput laut. Di wilayah rural, sebagian besar masyarakat Bali becorak produksi sebagai petani kecil dengan pola pertanian tradisional. Corak produksi masyarakat Bali ini amatlah dipengaruhi oleh siklus alam dan curah hujan. Saat ini jika siklus alam menjadi tidak menentu, maka merakalah korban-korban pertama yang terkena dampak ditengah minimnya upaya pemerintah untuk membantu merak beradaptasi.

Pemerintah saat ini justru lebih tertarik pada upaya untuk menggalang pendapatan-pendapatan dari invasi arus modal (investasi) di sektor periwisata dan sarana pendukungnya. Dengan jalan mengobral murah sumber daya alam yang ada, menyebabkan timbul berbagai permasalahan lingkungan dan sosial. Baik yang disebabkan secara langsung oleh perubahan peruntukan bentang alam suatu proyek maupun oleh dampak komulatif dari pembangunan yang selama ini tidak diperhitungkan sebagai sebuah komponen yang penting bagi keberlanjutan hidup masyarakat Bali. Buktinya, saat ini saja pemerintah masih sibuk untuk membangun proyek seperti lapangan golf, reklamasi pantai hingga daerah aliran sungai untuk villa, membabat hutan yang katanya demi listrik dan eco-tourism. Proyek-proyek tersebut jelas-jelas berpengaruh besar pada lingkungan apalagi dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan akan menambah parah kondisi Bali. Reklamasi menambah parah abrasi pantai dan semakin tinggi intensitas badai di laut sehingga berpengaruh pada ongkos produksi dan kehidupan nelayan. Berkurangnya hutan akan mengurangi kemampuan untuk menyediakan air dan kemampuan menangkap karbon, sehingga memperparah krisis air yang dapat penambah deretan panjang konflik perebutan air antara subak dengan PDAM maupun dengan swasta. Alih fungsi lahan terbuka dan produktif untuk keperluan lapangan golf yang hanya bisa dinikmati oleh kelompok berduit akan memperparah krisis pangan bagi Bali. Pariwisata Bali pun akan kollaps, karena pantai, gunung, sawah yang indah hanya akan tersisa di brosur-brosur perjalanan wisata saja. Di perkotaan akan semakin panas, pengapnya kondisi urban akibat kemacetan dan kumuhnya pemukiman, akan menyuburkan sarang-sarang nyamuk, sehingga membuat kesehatan manusia dan umur panjang menjadi mahal harganya. Ancaman keamanan, kriminalitas dan konflik akan tersemai karena semua orang ingin bertahan hidup ditengah kebutuhan yang semakin kompleks.

Walaupun masyarakat Bali telah berkontribusi besar lewat Nyepi dengan sehari tanpa konsumsi energi, sumber daya alam dan tidak mengeluarkan emisi, tetap saja Bali adalah pulau kecil yang akan menjadi ladang emas demi perputaran roda ekonomi global lewat industri pariwisata. Jika Bali masih mengacu pada kosep ekonomi-pembangunan konvesional seperti ini tanpa memasukkan resiko bencana dari perubahan iklim dalam setiap agenda pembangunan, tidak mustahil kejadian seperti di Tuvalu akan terjadi pada masyarakat Bali. Namun pertanyaannya kemudian adalah, apakah negara asal para pemilik industri pariwisata yang ada di Bali mau menerima masyarakat Bali??

Ditulis oleh :
Agung Wardana
(Deputi Direktur WALHI Bali)
Kontak:
WALHI Bali
Jl. Tukad Tegal Wangi No. 8 Sesetan, Denpasar
Telp: +62361245995, e-mail: bali@walhi.or.id
Mobile: +6281916606036

0 comments Monday, September 24, 2007

0 comments

Desember nanti, di Bali akan berlangsung konferensi internasional berkaitan dengan masalah perubahan iklim (Conference of Parties-COP13). Untuk menyambut acara yang katanya akan membahas Global Warming, maka sebaiknya kita lihat-lihat sejenak hal-hal yang berkaitan dengan pemanasan global ini.
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer laut dan daratan bumi. Planet Bumi telah menghangat (dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 milyar tahun sejarahnya. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuan dianggap disebabkan aktifitas manusia. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer.

Penghasil terbesarnya adalah negeri-negeri industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China, dll. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negara selatan. Untuk negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga berkontribusi dengan skenario pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu industrilisme dan meningkatnya pola konsumsi tentunya, meski tak setinggi negara utara. Industri penghasil karbon terbesar di negeri berkembang seperti Indonesia adalah perusahaan tambang (migas, batubara dan yang terutama berbahan baku fosil). Selain kerusakan hutan Indonesia yang tahun ini tercatat pada rekor dunia ”Guinnes Record Of Book” sebagai negara tercepatyang rusak hutannya.

Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari matahari yang dipancarkan ke Bumi. Rata-rata temperatur permukaan Bumi sekitar 15°C (59°F). Selama seratus tahun terakhir, rata-rata temperatur ini telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit).

Para ilmuan memperkirakan pemanasan lebih jauh hingga 1,4 - 5,8 derajat Celsius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100. Kenaikan temperatur ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm (4 - 40 inchi), menimbulkan banjir di daerah pantai, bahkan dapat menenggelamkan pulau-pulau.

Menurut temuan Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC). Sebuah lembaga panel internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Sebuah lembaga dibawah PBB, tetapi kuasanya melebihi PBB. Menyatakan pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 sedangkan di Asia lebih tinggi, yaitu 10. selanjutnya adalah ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10-30 persen dan melelehnya Gleser (gunung es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya cuaca secara ekstrem, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis. Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu sangat terasa, begitu juga dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan dingin makin hari makin panas saja. Contohnya di Jawa Timur bisa kita rasakan adalah Kota Malang, Kota Batu, Kawasan Prigen Pasuruan di Lereng Gunung Welirang dan sekitarnya, juga kawasan kaki Gunung Semeru. Atau kota-kota lain seperti Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa Tenggara, adalah daerah yang dulunya dikenal dingin tetapi sekarang tidak lagi.
Beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah. Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini sangat besar sehingga ilmuan-ilmuan ternama dunia menyerukan perlunya kerjasama internasional serta reaksi yang cepat untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah dengan diadakannya konfrensi di atas.


















































































































































































































0 comments Thursday, August 30, 2007

Satu persatu adik-adik Yudistira menghembuskan nafas terakhirnya, dimulai dari permaisuri Drupadi, si kembar Nakula dan Sahadeva, kemudian disusul oleh panglima perang Pandawa, Arjuna. Semua tidak tahan lagi dengan dinginnya salju abadi Himalaya, bahkan Bima yang sangat kuatpun akhirnya meninggal dalam kebekuan. Maka tinggal Yudistira melanjutkan pendakian dengan seekor anjing yang dari awal perjalanan mengikuti perjalanan para Pandawa menuju Sorga. Kadang kala anjing itu diangkatnya karena kasihan dan kadang pula dilepas kembali ketika Yudistira tidak kuat lagi menggendong anjing kecil itu.

Keteguhan hati Pandawa tertua yang dikenal sangat bijaksana ini akhirnya membawa kedua makluk berlainan spesies ini mencapai puncak Himalaya. Ketika sampai di puncak, Dewa Brahma menampakkan diri dari menyapa Yudistira.

“Karena keteguhan hatimu, Yudistira, aku akan mengangkatmu menuju Sorga.”
“Hamba ucapkan terima kasih,Dewa.” Yudistira mengucapkan terima kasih itu dengan bersimpuh di hadapan Dewa Brahma yang berwibawa itu.
Anjing kecil yang setia menemani pendakian itu seakan ikut bersimpuh walaupun kelihatan tidak mengerti dengan pemandangan di hadapannya. Ia telah menganggap Yudistira sebagai tuan dan juga sahabatnya.

“Tapi, engkau harus mengerti, wahai Putra Pandu, sorga bukanlah tempat tepat buat seekor anjing. Maka tinggalkanlah anjingmu itu di sini.”
“Bolehkah hamba bertanya wahai Dewa yang Agung?” Yudistira berusaha mencari jawaban.
“Silakah, Anakku.”
“Mengapa Dewa mengatakan sorga bukan tempat yang tepat buat seekor anjing?”
“Karena Sorga adalah hadiah bagi kebaikan di dunia ini dan hanya manusia yang mengenal perbuatan baik dan buruk.”
“Apakah anjing yang setia tidak bisa dikatakan telah berbuat baik? Hamba pun tidak tahu nama dan siapa pemilik anjing kecil ini, tapi di begitu setia menemani pendakian ini. Jika dia tidak bisa ikut dalam perjalanan hamba ke sorga maka hamba lebih baik tetap di sini. Hamba akan menemani anjing ini di sini dan melupakan sorga yang dianggap sebagai hadiah kebaikan di dunia ini.”

Kata-kata Yudistira membuat Sang Dewa tertegun. Angin dingin seperti menusuk daging dan merambat ke tulang. Yudistira masih bersimpuh menunggu apa yang akan dikatakan Dewa Brahma. Tapi ia tetap pada pendiriannya semula. Masuk sorga dengan anjing kecil ini atau tidak sama sekali. Selama hidup ia melakukan kebajikan bukanlah untuk mendapat hadiah sorga tapi kebajikan adalah kewajiban manusia.

Ia menundukkan wajahnya. Matanya hanya menatap salju yang ada di bawah tubuhnya yang telah kurus dan menggigil.

“Lihatlah, wahai pahlawan bangsa Kuru!” Sang Dewa bersabda.”Lihatlah siapa di sampingmu!”

Yudistira menoleh ke samping kiri. Dia tidak melihat anjing kecilnya lagi. Ia juga melihat ke segala penjuru tapi anjing itu tidak ada lagi. Kini di hadapannya berdiri dua dewa. Tapi matanya tetap mencari-cari dimana anjing kecil itu.

“Anakku,” Sang Dewa yang lain menyapa Yudistira,”aku Dewa Dharma yang mengikutimu sejak awal pendakian ini. Akulah anjing kecilmu itu.”

Yudistira tertegun.

“Jangan bingung, anakku.” Dewa Dharma berusaha menyadarkan Yudistira dari kebingungannya.
“Maafkan hamba, Dewa. Hamba tidak tahu.” Yudistira gelagapan.
“Kau tidak perlu minta maaf, anakku. Saatnya kau ke sorga dengan segala perbuatan baikmu.” Seketika itu juga Dewa Dharma menghilang dari pandangan.

“Ayolah, pahlawan. Kita berangkat.” Dewa Brahma mengulurkan tangan perkasanya dan mengangkat Yudistira menuju sorga.

Posting ini diadaptasi dari bagian terakhir Epos Mahabharata yaitu Swargarohana Parwa yang ditulis Maharesi Vyasa. Swargarohana Parwa sendiri menceritakan perjalanan Pandawa dan Drupadi menuju sorga yang dipercaya dengan cara mendaki gunung Himalaya setelah menyerahkan singgasana kepada Parikesit, cucu Arjuna.

Posting ini aku dedikasikan buat anjing kecilku, Piko (Gendut) yang mati hari ini. Semoga ada sorga bagi anjing. Semoga ada alasan yang baik mengapa Nabi Nuh menyertakan anjing dalam bahteranya selain untuk dianggap najis di kemudian hari.