0 comments Thursday, August 2, 2007


Berciuman bibir di depan umum bagi sebagian orang adalah hal tabu apalagi di Indonesia yang rencananya akan diberlakukan UU Pornografi dan Pornoaksi. Ditangkap, ditahan, dan didenda sejumlah uang yang nilainya menakutkan. Siapa berani? Untuk itu, berciuman biasanya dilakukan di tempat-tempat tersembunyi oleh pasangan-pasangan baik suami-istri, pacar, selingkuhan dan pasangan-pasangan lain punya acara ciuman bila bertemu baik wajib, terpaksa maupun dipaksa.

Di kalangan anak muda sekolahan lebih berbahaya lagi, karena selain tuntutan hukum nantinya (kalau RUU itu jadi disahkan) juga beresiko didamprat ortu kalau ketahuan. Bisa-bisa dihukum tahanan rumah, dilarang bertemu pacar atau yang paling parah tidak diberi uang saku selama sebulan. Mampus! Makanya singkat kata, singkat cerita, hatilah-hatilah berciuman karena banyak masalah di belakangnya.

Tapi tanyakan kepada anak-anak muda yang lahir di Banjar Sesetan Kaja, Denpasar dan menjadi anggota Sekaa Teruna (Organisasi Pemuda tingkat RT/RW di daerah lain--red) Satya Dharma Kerthi, Banjar Sesetan Kaja, Denpasar, siapa yang pernah disemprot ortu gara-gara berciuman di depan umum, berbasah-basah dan ditonton banyak orang. Jawabannya pasti "tidak ada". Atau kita akan mendapat tambahan kata,"Mereka juga senang kok melihatnya." Wah! Ini pasti aneh. Orang tua senang melihat anak mereka dicium anak tetangga di depan umum. Orang tua macam apa ini?

Acara ciuman di depan umum ini terjadi setiap tahun di Banjar Sesetan Kaja, Denpasar. Acara ini disebut Med-Medan, sebuah kegiatan ritual yang laksanakan oleh banjar tersebut yang melibatkan semua anggota sekaa teruna. Tepatnya dilaksanakan sehari setelah hari raya Nyepi. Kegiatan budaya ini sangat unik dan pelaksanaannya terus dipertahankan dari tahun ke tahun. Ciuman? Inilah uniknya kegiatan ini.

Acara dimulai dengan berkumpulnya anggota sekaa teruna di halaman bale banjar (bale masyarakat Bali---red juga), setelah melakukan persembahyangan, selanjutnya anggota cewek dan cowok dipisahkan dan membuat barisan. Barisan cowok menghadap Utara dan barisan cewek menghadap ke Selatan. Ketika barisan sudah saling berhadapan, masing-masing kelompok menunjuk salah seorang anggota yang akan dipertemukan dengan lawan jenisnya. Setelah semuanya sepakat, barisan akan akan maju saling mendekati karena didorong. Setelah jarak begitu dekat ujung barisan akan berangkulan, si cowok akan berusaha mencium si cewek. Entah bagian wajah mana yang sempat dicium karena ketika itu terjadi panitia akan menyiramkan seember air dan masing-masing barisan akan menarik ujung barisan yang saling berangkulan itu. Syukur jika dapat mencium bibir karena tidak akan ada kesempatan lagi karena yang sudah dapat giliran harus kembali ke barisan dan berada paling belakang dengan keadaan basah kuyup.

Semua akan tertawa dan bergembira melihat kegiatan budaya ini. Coba saja bayangkan melihat tingkah konyol cowok-cowok yang teramat berambisi buat mencium pasangannya dan cewek-cewek yang malu-malu tapi tetap saja didorong teman-teman di belakangnya. Pasti seru. Tapi maaf, jika pacar sedang menonton dilarang cemburu.

Med-Medan, berasal dari kata "omed" yang artinya "tarik". Jadi secara sederhana "Med-Medan" berarti saling tarik-menarik dan komponen utama dari kegiatan ini adalah adanya usaha saling dorong dan tarik oleh kedua kelompok cowok dan cewek. Jadi kegiatan utamanya adalah mendorong, berangkulan, menyiram, dan menarik kembali. Nah, pas ketika berangkulan itulah wajah saling berpadu. Pada jaman dahulu, ketika wajah bertemu wajah dalam istilah orang Bali disebut "mediman". Ketika dicari padanan katanya dalam Bahasa Indonesia didapatkan kata "berciuman". Nah, di sini letak uniknya kata "berciuman" jika dipakai oleh anak muda. He..he... apa bertemu apa, ayo??

Med-medan adalah sebuah tradisi yang awalnya adalah sebuah penentangan terhadap penguasa daerah (tokoh puri) pada jaman dahulu yang melarang diadakannya “keramaian” di wilayah itu karena beliau sedang sakit. Tetapi warga banjar memberanikan diri menyelenggarakan keramaian dengan segala risiko. Mendengar adanya keramaian, tokoh puri yang sedang sakit, berusaha mendatangitempta acara. Tetapi aneh, sakit yang dideritanya sembuh seketika setelah menyaksikan acara tersebut.


Pada jaman Belanda tradisi ini pernah dilarang, tetapi masyarakat tetap melaksanakannya secara sembunyi-sembunyi, hal ini terkait dengan kepercayaan warga bahwa bila tradisi ini tidak digelar maka akan ada hal-hal yang tidak diingini akan terjadi. Seperti halnya pengalaman para tetua terdahulu yang pernah meniadakan tradisi ini, entah darimana tiba-tiba sepasang babi yang tidak diketahui asal-muasalnya berkelahi di halaman Pura Banjar. Darah babi pun berceceran di mana-mana. Warga banjar yang melihat kejadian itu berusaha melerainya, tetapi tak berhasil. Akhirnya, ada bawos (wahyu/wangsit----red lagi) agar Med-medan tetap dilangsungkan. Begitu tradisi itu dilangsungkan, kedua ekor babi itu menghilang tanpa jejak. Darah yang tadinya terlihat membasahi tanah, hilang seketika. Sejak itulah warga tidak berani lagi meniadakan Med-medan sehingga lestari sampai sekarang.

Banyak kalangan mengatakan bahwa kegiatan ini menyuguhkan tontonan pornoaksi kerena dipandang dari sudut berciuman di depan umum yang dapat merangsang birahi peserta kegiatan dan penontonnya. Terutama yang tidak pernah melihat langsung kegiatan ini. Untuk menepis jauh kecurigaan tentang adanya pornoaksi, cobalah datang ke Sesetan Kaja, Denpasar. Jangan lupa menyiapkan diri untuk tertawa dan bergembira karena semua akan tertawa dan bergembira.
Foto diambil dari situs blog.baliwww.com