Wednesday, May 2, 2007

Pembangun di era otonomi daerah atau desentralisasi merupakan peluang yang sangat baik dalam mewujudkan hak-hak masyarakat pengelolaan sumber daya alam mereka yang dapat mengurangi potensi kita untuk terjerembab dalam bencana berkelanjutan. Pertanyaannya, apakah pendelegasian kewenangan pengelolaan tersebut telah termaktub dalam regulasi otonomi daerah? Selanjutnya, apakah paradigma pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dapat menjamin keadilan dan kelestarian?

Pertanyaan ini menjadi relevan mengingat masih ada regulasi dalam pengelolaan sumber daya alam yang yang tumpang tindih, misalnya antara UU Otonomi Daerah dengan regulasi sumber daya alam yang bersifat sektoral. Selain itu yang terjadi saat ini justru otonomi daerah menambah deretan eksploitasi. Semakin menguatnya kekuasaan yang merangsek ke tingkat lokal berkombinasi dengan pemerintah yang lemah dan institusi sipil yang juga lemah telah membuka jalan untuk penyalahgunaan kekuasaan politik dan kekuasaan administratif, bangkitnya sentimen etnis dan keagamaan serta perusakan lingkungan alam demi menarik keuntungan yang cepat dan sebanyak-banyaknya. Secara real dapat kita lihat pada laju kerusakan lingkungan dan sumber daya alam pada era otonomi daerah meningkat secara signifikan. Jika di masa Orde Baru yang sentralistik, segala kebijakan yang berkaitan dengan eksploitasi berasal dari pemerintah pusat yang mana keuntungan dari eksploitasi tersebut juga terkonsentrasi pada elite-elite pusat saja. Sedangkan lewat otonomi daerah, penguasa daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pendapatan dengan mengobral dan menguras habis sumber daya alam mereka juga untuk kepentingan penguasa tersebut ataupun kelompoknya.

Mengubah Paradigma
Pembangunan yang mengandalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa diimbangi dengan kehati-hatian dalam pengelolaannya, yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran sumber daya alam dari waktu ke waktu semakin tinggi. Kondisi ini menjadi semakin parah dengan adanya ketidakadilan basis legitimasi hukum yang memberikan hak penguasaan yang lebih besar kepada pengusaha dibandingkan hak yang ada pada masyarakat yang meskipun jumlahnya lebih besar menikmati sedikit ruang dalam memanfaatkan sumber daya alam (Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri; 2005).
Pengelolaan sumber daya alam yang bersifat sektoral sangat berpotensi terjadinya tumpang tindih kewenangan guna mencapai keuntungan komersial tanpa memperhitungkan daya dukung ekologisnya. Pendekatan seperti ini, jika kita lihat secara kritis merupakan pesanan untuk mendukung basis ekonomi pertumbuhan dengan birokrat-intelektual-komprador sebagai agennya.
Ketika kita berbicara tentang bencana ekologis atau bencana yang terjadi sebagai akumulasi dari kerusakan lingkungan akibat eksploitasi, tidak bisa dilepaskan dari sistem pengelolaan sumber daya alam yang timpang ini. Ke depan, diperlukan sebuah antitesis dari pendekatan ini yang lebih berpihak pada kelestarian dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Tentu saja pendekatan ini tidak tunduk pada basis ekonomi pertumbuhan yang kapitalistik.
Paradigma seperti apa yang dapat menjadi antitesis? Dari sudut pandang pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, bio-region merupakan pilihan yang cukup tepat karena dengan adanya otonomi daerah pengelolaan sumber daya alam terkotak-kotak dalam wilayah administrasi yang kecil-kecil yang seringkali lebih sempit dari sistem ekosistem serta menimbulkan konflik antar daerah. Daya dukung sumber daya alam per daerah administratif tidak mampu mendukung pembangunan dan kehidupan jangka panjang sehingga diperlukan kerja sama antara daerah untuk mencapai kesejateraan bersama dan berkelanjutan sistem penyangga kehidupan.
Pendekatan bio-region memiliki beberapa karakteristik. Pertama, merupakan teritori tanah dan air yang lingkupnya tidak ditentukan oleh batasan politik/administratif, tetapi oleh batasan geografis komunitas manusia dan sistem ekologi. Kedua, mata pencarian pokok, klaim, serta kepentingan komunitas lokal berikut kriteria untuk pembangunan dan pelestarian regional dijadikan pusat perhatian dengan tidak mengabaikan kepentingan ekonomi dari luar. Ketiga, merupakan wilayah yang ''cukup luas'' untuk memelihara integritas komunitas, habitat dan ekosistem biologis, menunjang proses ekologis penting seperti zat hara, arus limbah, migrasi dan aliran air. Keempat, merupakan wilayah yang ''cukup kecil'' sehingga oleh masyarakat dianggap sebagai kampung halamannya, mempunyai identitas kultural yang unik serta mempunyai hak untuk menentukan pembangunannya sendiri (Walhi, 2002)
Pendekatan bio-region ini mengaitkan ekosistem, geografis masyarakat dan budaya untuk mendorong ikatan sosial yang diharapkan dapat meningkatkan ikatan eko-budaya yang mengakar pada suatu wilayah melebihi ikatan etnis dan birokrasi yang cenderung bersifat membatasai. Batas bio-region tidak dapat ditentukan dari ''atas'' karena bio-region adalah konsep ekologi dan budaya yang sudah ada beserta masyarakat yang tinggal di dalam tersebut. Dengan kata lain bio-region menyatukan ekosistem alam dengan masyarakat tanpa dibatasi oleh batas adminstrasi dan etnis, memerlukan riset dan ilmu pengetahuan (termasuk pengetahuan lokal), merupakan pendekatan kooperatif dan adaptif, serta memerlukan keterpaduan institusi (pemerintah pusat, pemerintah daerah dan komunitas lokal).
Untuk itu diperlukan seorang pemimpin politik yang mempunyai keberanian untuk mempraksiskan pendekatan bio-region ini yang dimulai dari daerah. Karena bagaimana pun permasalahan lingkungan hidup dan konflik pengelolaan sumber daya alam bukan permasahalan teknis belaka melainkan merupakan ekses dari ketimpangan struktur kelas, gender dan ras dalam penguasaan sumber daya alam yang hanya dapat diselesaikan melalui pendekatan politik yang berpihak pada keadilan dan kelestarian.
Tulisan ini dibuat oleh Agung Wardana dan pernah dimuat di harian Bali Post, 27 Pebruari 2007. Dia adalah adik sepupu sekaligus sahabatku. Seorang pecinta lingkungan dan aktif di Walhi ed Bali. Sorry Dek, tulisannya termuat di sini. Tau kan, gak semua orang baca Bali Post?

0 comments:

Post a Comment